Mona hari ini berkunjung ke rumah saudara Kak Nesa di kompleks perumahan yang tenang, dengan jalan-jalan kecil yang rapi dan taman-taman hijau yang terawat. Dia bukan tipe orang yang mudah bergaul, lebih suka menghabiskan waktu dengan buku-buku atau menggambar di sudut kamarnya. Namun, entah mengapa, hari pertama di tempat baru ini terasa berbeda.
Saat sedang duduk di teras rumah saudara, Mona melihat seekor kucing tanpa bulu hitam yang tampak menjelajah dari bawah meja. Kucing itu bukan sembarang kucing; dia punya aura misterius, matanya yang tajam mengintip dari balik lemari, seolah mengetahui segalanya tentang penghuni kompleks ini.
Mona tersenyum kecil dan bersuara pelan, “Hei, kucing.”
Kucing itu berhenti, menoleh, dan melihat Mona sejenak. Dengan langkah angkuh, dia mendekat, duduk di depan Mona, menatapnya seperti sedang menilai.
"Namamu siapa?" tanya Mona, meski tahu kucing tak bisa menjawab. Kucing itu hanya mengedipkan mata, seolah mengerti apa yang dimaksud Mona.
Sejak hari itu, kucing hitam itu mulai sering mampir ke rumah Mona. Setiap kali Mona duduk di teras atau di taman, kucing itu akan datang, duduk di sampingnya, dan mengawasinya dengan tatapan tajam. Mona mulai merasa nyaman dengan kehadirannya. Seperti ada yang berbeda dengan kucing ini, lebih dari sekadar hewan peliharaan biasa. Kucing itu hanya duduk diam, menemani Mona seolah dia adalah teman lama yang sudah lama tak bertemu.
Para Keluarga Kak Nesa sering melihat Mona dan kucing itu bersama. Beberapa orang mulai penasaran, bertanya-tanya apakah mereka berteman, atau saling bermusuhan. Tapi Mona tidak pernah bertanya lebih jauh. Entah kenapa, dia merasa nyaman dengan kucing itu, merasa seolah-olah mereka saling memahami.
Suatu hari, saat Mona sedang duduk di bangku taman, kucing itu datang seperti biasa. Namun kali ini, dia membawa sesuatu—sebuah bola kecil yang tampak terbuat dari kain lusuh. Kucing itu meletakkan bola itu di depan Mona, lalu duduk menghadapnya dengan penuh harap.
Mona tertawa kecil, "Kamu ingin aku main denganmu, ya?" Dengan perlahan, dia mengambil bola itu dan mulai melemparkannya. Kucing hitam itu berlari dengan gesit, mengejar bola, dan membawa kembali seperti anjing yang terlatih. Ternyata kucing itu memiliki nama yaitu Brandon.
Itulah awal dari sebuah pertemanan yang aneh namun indah. Setiap sore, Mona dan Brandon akan bermain bersama, kadang hanya duduk di bangku taman, berbicara dalam diam. Tak ada kata-kata yang diperlukan, hanya kehadiran mereka yang saling melengkapi.
Kisah mereka, meski tak pernah terucap dengan kata-kata, tetap hidup di dalam kenangan Mona—sebuah pertemanan yang paling murni, yang pernah ia miliki.

.jpeg)
.jpeg)
0 comments:
Post a Comment