Hai! Namaku Mona. Aku kucing jantan yang tampan, pintar, dan tentu saja, kuat! Aku punya bulu panjang berwarna putih dan oren, selalu terawat karena Kak Nesa sering menyisirku setiap malam. Aku tinggal bersama keluargaku: Kak Nesa, Kak Ega, dan Mama Nofi, yang selalu memastikan aku bahagia.
Tapi, meskipun aku punya keluarga yang penuh kasih, aku tetap punya masalah sendiri. Pertanyaannya adalah kucing tetangga bernama Abu.
Abu adalah kucing berbulu abu-abu gelap dengan mata tajam dan sikap sombong. Dia selalu muncul di pagar rumah, mengintip ke dalam jendela sambil mengeong keras seolah menantangku. Tentu saja aku tidak bisa membiarkannya begitu saja! Ini rumahku, dan aku, Mona, adalah penguasa di sini.
Setiap kali Abu datang, aku akan langsung melompat ke jendela, mengeong keras, dan mengacak-acak tirai agar dia tahu aku tidak takut. Kalau dia berani mendekat, aku akan berlari keluar melalui celah pintu yang terkadang lupa ditutup Kak Ega. Dan di situlah kami biasanya bertemu—di taman kecil dekat pagar.
Kami berdua saling memandang tajam, bulu di punggungku berdiri, ekorku mengembang. Abu sering mengeong keras seolah berkata, "Hei, ini wilayahku juga!" Tapi aku tidak peduli. Aku adalah Mona, kalau begitu. Aku akan melompat ke arahnya, dan kami mulai saling bergulat.
Pertarungan kami tidak pernah benar-benar serius sih. Setelah beberapa kali pukulan dengan cakar (yang lebih sering kena udara daripada tubuh), Abu biasanya lari. Aku akan mengejarnya sampai ke pagar, memastikan dia pergi jauh. Ketika aku kembali ke rumah, Kak Nesa atau Mama Nofi selalu mengomel, "Mona, kamu kenapa suka berkelahi terus, sih?!" Tapi aku hanya mengeong manis. Mereka tidak mengerti, aku hanya melindungi rumah kami!
Namun, kehidupan berubah ketika Mama Nofi membawa anak kucing hitam mungil sebagai teman baruku. Awalnya, aku ragu. Apakah dia akan mengerti aku? Tapi anak kucing ternyata sangat lucu dan ramah. Kami cepat akrab, dan sejak itu, saya punya teman bermain setiap hari.
Dengan kehadiran teman baruku, aku jadi lebih jarang memikirkan Abu. Tapi, tentu saja, Abu masih sering muncul di pagar, mencoba memprovokasiku. Bedanya, sekarang aku tidak langsung keluar. Aku hanya duduk di jendela sambil menatap dingin, seolah berkata, "Kamu tidak layak menjadi lawanku sekarang."
Teman baruku, yang kukenalkan sebagai "Aji", biasanya ikut duduk di sampingku, memperhatikan Abu dengan rasa penasaran. “Dia itu Abu,” bisikku pada Aji, meskipun aku tahu dia tidak mengerti. "Dia musuhku. Tapi jangan khawatir, aku akan selalu melindungimu."
Kadang-kadang, aku masih merasa terdorong untuk keluar dan bertarung dengan Abu. Tapi sekarang, aku lebih menikmati waktu bermain dengan Aji, berbagi makanan yang diberikan Mama Nofi, atau tidur di pangkuan Kak Nesa.
Aku, Mona si pengatur, tetap menjadi penjaga rumah ini. Namun dengan kehadiran Aji yydan keluargaku yang penuh kasih, aku tidak lagi merasa perlu berdiskusi sepanjang waktu. Mungkin Abu akan mengerti suatu hari nanti bahwa ada hal yang lebih penting daripada pertemuan—seperti keluarga dan teman-teman yang mencintaiku.
Sampai jumpa di cerita selanjutnya, Onty dan Angkel!
0 comments:
Post a Comment